Biasanya sebutan Bos ditujukan kepada seseorang yang memiliki kekayaan yang melimpah, misalnya Bos Odong-odong. Dalam tulisan ini yang mendapat julukan Bos adalah seorang kepala sekolah (Bos Odong-odong kali yee).
Sebagai seorang Bos, tentu kepala sekolah tersebut memiliki kemampuan dalam mengelola bisnisnya, dalam hal ini berkaitan dalam mengelola keuangan. Masalah keuangan memang suatu masalah yang sangat sensitif, bila kurang keyakinan dapat menimbulkan malapetaka (mungkin merugikan dirinya dan orang lain).
Jumat, 30 Oktober 2009
Selasa, 15 September 2009
Awal Ramadhan dan Hari Raya, Mengapa Harus Berbeda?
Masyarakat (khususnya orang awam) sering cemas dan bingung saat hendak mengawali Ramadhan dan Syawal. Mereka kerap disuguhi perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Tentu saja ini bukan masalah sepele. Idul Fitri yang seharusnya membuat mereka senang, justru melahirkan kebingunan dan kecemasan. Setidaknya sejak tahun 1992 sampai sekarang, sudah tujuh kali Indonesia mengalami perbedaan Idul Fitri. Dimungkinkan, Ramadhan tahun ini akan mengalami nasib sama.
Andaikan ulama-ulama terhormat, yang mayoritas mewakili organisasi keagamaan itu berlapang dada mengakui otoritas pemerintah (dalam hal ini Depag) melalui mekanisme sidang isbat, maka setidaknya musibah itu dapat diminimalisir secara signifikan. Sebab masalah ini menyangkut muslim secara menyeluruh yang tidak boleh dibatasi dengan sekat-sekat madzhab, organisasi maupun aliran. Untuk itu, perlu keputusan dari pihak yang menjadi atasan dari semua kelompok tersebut, baik rela maupun tidak. Secara umum, eksistensi peran pemerintah, baik dengan simbol khalifah, imam, sultan, hakim, amir atau lainnya dalam penegakan syariat adalah sesuatu yang tidak dapat dibantah.
Khusus mengenai penetapan awal Ramadhan, apa yang terjadi pada masa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah bukti nyata peran pemerintah yang pada saat itu diperankan
Nabi sendiri.
Ibnu Abbas meriwayatkan: Ada seorang Badui datang kepada Nabi. Ia berkata, "Aku telah melihat hilal yaitu Ramadhan". Maka Nabi bertanya, "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Si Baduy itu menjawab, "Ya". Nabi bertanya lagi, "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?" Ia menjawab, "Ya". Kemudian Nabi berkata, "Wahai Bilal, umumkan kepada semua orang hendaklah mereka besok berpuasa". (Riwayat Abu Dawud, Turmudzi, Nasa'i dan Ibnu Majah).
Tampak dalam hadist ini bahwa si Badui itu hanya berperan sebagai informan, sedangkan Nabi sebagai penetap atas kebenaran informasi tersebut melalui uji validasi. Beliau juga menunjukkan fungsi instruktifnya kepada seluruh masyarakat saat ini.
Argumen ini juga didukung oleh riwayat Ibnu Umar yang menceritakan, "Orang-orang melihat hilal, maka aku memberitahukan kepada Nabi, bahwa aku melihatnya, maka Nabi berpuasa dan menyuruh semua orang untuk berpuasa" (Riwayat Abu Dawud).
Berdasar hadits kedua ini nyata sekali bahwa sebanyak apapun informasi mengenai ru'yah hilal, baru legitimate secara syar'i bila disahkan oleh penguasa yang berwenang. Dalam kondisi banyak orang menyatakan melihat, namun pemerintah tidak memandangnya sebagai informasi yang valid, maka esok harinya adalah hari ragu (yaum al-syak) yang haram untuk berpuasa.
Realitasnya di Indonesia, secara de fakto dan de yure, mayoritas organisasi Islam berlindung di bawah payung hukum negara dan di bawah asuhan Departeman Agama. Namun ironisnya, selalu tampak enggan ikut keputusan pemerintah dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawal walaupun mereka sendiri ikut bersidang.
Disarikan dari Majalah Hidyatullah Edisi 5/XXI, Abdul Choliq, Lc
Tentu saja ini bukan masalah sepele. Idul Fitri yang seharusnya membuat mereka senang, justru melahirkan kebingunan dan kecemasan. Setidaknya sejak tahun 1992 sampai sekarang, sudah tujuh kali Indonesia mengalami perbedaan Idul Fitri. Dimungkinkan, Ramadhan tahun ini akan mengalami nasib sama.
Andaikan ulama-ulama terhormat, yang mayoritas mewakili organisasi keagamaan itu berlapang dada mengakui otoritas pemerintah (dalam hal ini Depag) melalui mekanisme sidang isbat, maka setidaknya musibah itu dapat diminimalisir secara signifikan. Sebab masalah ini menyangkut muslim secara menyeluruh yang tidak boleh dibatasi dengan sekat-sekat madzhab, organisasi maupun aliran. Untuk itu, perlu keputusan dari pihak yang menjadi atasan dari semua kelompok tersebut, baik rela maupun tidak. Secara umum, eksistensi peran pemerintah, baik dengan simbol khalifah, imam, sultan, hakim, amir atau lainnya dalam penegakan syariat adalah sesuatu yang tidak dapat dibantah.
Khusus mengenai penetapan awal Ramadhan, apa yang terjadi pada masa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah bukti nyata peran pemerintah yang pada saat itu diperankan
Nabi sendiri.
Ibnu Abbas meriwayatkan: Ada seorang Badui datang kepada Nabi. Ia berkata, "Aku telah melihat hilal yaitu Ramadhan". Maka Nabi bertanya, "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Si Baduy itu menjawab, "Ya". Nabi bertanya lagi, "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?" Ia menjawab, "Ya". Kemudian Nabi berkata, "Wahai Bilal, umumkan kepada semua orang hendaklah mereka besok berpuasa". (Riwayat Abu Dawud, Turmudzi, Nasa'i dan Ibnu Majah).
Tampak dalam hadist ini bahwa si Badui itu hanya berperan sebagai informan, sedangkan Nabi sebagai penetap atas kebenaran informasi tersebut melalui uji validasi. Beliau juga menunjukkan fungsi instruktifnya kepada seluruh masyarakat saat ini.
Argumen ini juga didukung oleh riwayat Ibnu Umar yang menceritakan, "Orang-orang melihat hilal, maka aku memberitahukan kepada Nabi, bahwa aku melihatnya, maka Nabi berpuasa dan menyuruh semua orang untuk berpuasa" (Riwayat Abu Dawud).
Berdasar hadits kedua ini nyata sekali bahwa sebanyak apapun informasi mengenai ru'yah hilal, baru legitimate secara syar'i bila disahkan oleh penguasa yang berwenang. Dalam kondisi banyak orang menyatakan melihat, namun pemerintah tidak memandangnya sebagai informasi yang valid, maka esok harinya adalah hari ragu (yaum al-syak) yang haram untuk berpuasa.
Realitasnya di Indonesia, secara de fakto dan de yure, mayoritas organisasi Islam berlindung di bawah payung hukum negara dan di bawah asuhan Departeman Agama. Namun ironisnya, selalu tampak enggan ikut keputusan pemerintah dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawal walaupun mereka sendiri ikut bersidang.
Disarikan dari Majalah Hidyatullah Edisi 5/XXI, Abdul Choliq, Lc
Kamis, 27 Agustus 2009
Ramadhan Bulan Kelezatan
Lezat bersama Al-Qur'an
Para ulama sepakat bahwa Ramadhan adalah bulan istimewa. Di bulan ini malaikat Jibril turun ke bumi membawa wahyu kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang bertahannuts (meyendiri) di Gua Hira. Saat itu Jibril membacakan lima ayat awal surat al-'Alaq (silakan bisa dilihat langsung dalam al-Qur'an!).
Al-Qur'an adalah petunjuk, kompas dan panduan hidup manusia. Ia adalah cahaya hidup. Sebagai cahaya, ia akan bisa terpantul sempurna jika diserap oleh cermin yang bersih. Cermin yang bersih itu adalah gambaran hati orang-orang mukmin yang telah terampuni dosanya melalui pembakaran (Ramadhan) yang dijalani secara benar dan sempurna.
Dalam kondisi seperti inilah al-Qur'an itu nuzul atau landing di hati manusia. Ia tidak sekedar diterima dengan logika, tetapi menancap dalam hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kebenaran al-Qur'an tidak saja diterima dengan akal pikiran beliau, tetapi juga menjadi pengalaman spiritual beliau yang sulit tercabut dari akarnya. Al-Qur'an tidak saja menerangi hati beliau, tetapi juga menerangi masyarakat sekelilingnya. Ia telah menjadi cahaya bagi semesta.
Karena itu, al-Qur'an di bulan Ramadhan memberi nuansa kelezatan tersendiri yang berbeda dengan bulan-bulan yang lainnya. Al-Qur'an pada bulan ini benar-benar telah mengantarkan kaum muslimin pada kehidupan yang menyenangkan, menghembuskan aroma kesegaran jiwa dan menyingkirkan hawa nafsu.
Al-Qur'an adalah petunjuk bagi manusia menuju jalan yang lurus. Ia adalah cahaya, obat penawar hati, sekaligus sebagai bukti (hujjah), wawasan dan sumber ilmu. Al-Qur'an adalah ruh kehidupan. Ia merupakan sumber keselamatan dan kebahagiaan.
Adalah suatu bencana jika al-Qur'an telah tergantikan dengan bacaan yang lain. Al-Qur'an tidak bolah tergeser oleh bacaan apapun. Membaca buku apa saja boleh, tetapi al-Qur'an tetap harus menjadi saringannya. Al-Qur'an tetap menjadi rujukannya. Al-Qur'an harus tetap menjadi pedomannya. Kebenaran, kebaikan dan keindahan sesuatu yang harus diukur dengan al-Qur'an. Ia harus menjadi alat kontrol atas logika dan rasa.
Amalan yang Lezat
Ada tiga amalan yang menonjol pada bulan Ramadhan, yaitu tartilul Qur'an (membaca al-Qur'an), qiyamul lail (shalat malam) dan berzakat serta bersedekah. Ketiga kegiatan yang mendominasi hari-hari di bulan Ramadhan inilah yang memberi kelezatan utama.
Di dalam keluarga, orang tua harus menjadi tauladan (uswah) bagi seluruh anggota keluarganya dalam menjalankan ketiga agenda tersebut. Mereka menjalankan seluruh shalat-shalat fardhunya di masjid secara berjamaah. Tentunya tak lupa menyertainya dengan shalat-shalat sunnah rawatib. Di malam harinya, mereka mengidupkannya dengan shalat lail.
Bagi orang yang beriman, malam-malam bulan Ramadhan terasa singkat, karena mereka merasakan kelezatan beribadah kepada Allah Yang Maha Tinggi. Rumah mereka ketika di malam hari, terutama di bulan Ramadhan tak ubahnya seperti madrasah. Lalu bagaimana dengan rumah kita? Bagaimana pula dengan lingkungan kita? Sudahkah kita meramadhankannya?
(Disarikan dari Majalah Hidayatullah Edisi 05/XXI, Hamim Thohari)
Para ulama sepakat bahwa Ramadhan adalah bulan istimewa. Di bulan ini malaikat Jibril turun ke bumi membawa wahyu kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang bertahannuts (meyendiri) di Gua Hira. Saat itu Jibril membacakan lima ayat awal surat al-'Alaq (silakan bisa dilihat langsung dalam al-Qur'an!).
Al-Qur'an adalah petunjuk, kompas dan panduan hidup manusia. Ia adalah cahaya hidup. Sebagai cahaya, ia akan bisa terpantul sempurna jika diserap oleh cermin yang bersih. Cermin yang bersih itu adalah gambaran hati orang-orang mukmin yang telah terampuni dosanya melalui pembakaran (Ramadhan) yang dijalani secara benar dan sempurna.
Dalam kondisi seperti inilah al-Qur'an itu nuzul atau landing di hati manusia. Ia tidak sekedar diterima dengan logika, tetapi menancap dalam hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kebenaran al-Qur'an tidak saja diterima dengan akal pikiran beliau, tetapi juga menjadi pengalaman spiritual beliau yang sulit tercabut dari akarnya. Al-Qur'an tidak saja menerangi hati beliau, tetapi juga menerangi masyarakat sekelilingnya. Ia telah menjadi cahaya bagi semesta.
Karena itu, al-Qur'an di bulan Ramadhan memberi nuansa kelezatan tersendiri yang berbeda dengan bulan-bulan yang lainnya. Al-Qur'an pada bulan ini benar-benar telah mengantarkan kaum muslimin pada kehidupan yang menyenangkan, menghembuskan aroma kesegaran jiwa dan menyingkirkan hawa nafsu.
Al-Qur'an adalah petunjuk bagi manusia menuju jalan yang lurus. Ia adalah cahaya, obat penawar hati, sekaligus sebagai bukti (hujjah), wawasan dan sumber ilmu. Al-Qur'an adalah ruh kehidupan. Ia merupakan sumber keselamatan dan kebahagiaan.
Adalah suatu bencana jika al-Qur'an telah tergantikan dengan bacaan yang lain. Al-Qur'an tidak bolah tergeser oleh bacaan apapun. Membaca buku apa saja boleh, tetapi al-Qur'an tetap harus menjadi saringannya. Al-Qur'an tetap menjadi rujukannya. Al-Qur'an harus tetap menjadi pedomannya. Kebenaran, kebaikan dan keindahan sesuatu yang harus diukur dengan al-Qur'an. Ia harus menjadi alat kontrol atas logika dan rasa.
Amalan yang Lezat
Ada tiga amalan yang menonjol pada bulan Ramadhan, yaitu tartilul Qur'an (membaca al-Qur'an), qiyamul lail (shalat malam) dan berzakat serta bersedekah. Ketiga kegiatan yang mendominasi hari-hari di bulan Ramadhan inilah yang memberi kelezatan utama.
Di dalam keluarga, orang tua harus menjadi tauladan (uswah) bagi seluruh anggota keluarganya dalam menjalankan ketiga agenda tersebut. Mereka menjalankan seluruh shalat-shalat fardhunya di masjid secara berjamaah. Tentunya tak lupa menyertainya dengan shalat-shalat sunnah rawatib. Di malam harinya, mereka mengidupkannya dengan shalat lail.
Bagi orang yang beriman, malam-malam bulan Ramadhan terasa singkat, karena mereka merasakan kelezatan beribadah kepada Allah Yang Maha Tinggi. Rumah mereka ketika di malam hari, terutama di bulan Ramadhan tak ubahnya seperti madrasah. Lalu bagaimana dengan rumah kita? Bagaimana pula dengan lingkungan kita? Sudahkah kita meramadhankannya?
(Disarikan dari Majalah Hidayatullah Edisi 05/XXI, Hamim Thohari)
Sabtu, 22 Agustus 2009
Khusyu Berpuasa
"Bunda, katanya Allah sayang kita, tapi mengapa kita disuruh puasa, kan jadinya lapar?" ujar seorang anak.
Pertanyaan tentang puasa seringkali diajukan anak-anak. Jawaban orang tua pun tentu beragam. Ada yang sebatas memuaskan anak, ada juga yang serius menjawabnya secara ilmiah dari tinjauan kesehatan, ajaran agama, maupun dari sisi kejiwaan. Kualitas jawaban orang tua ini sangat menentukan seberapa jauh pemaknaan anak akan arti puasa.
Tak hanya jawaban, pola kebiasaan orang tua selama Ramadhan pun menentukan makna apa yang diserap anak tentang arti puasa. Ketika orang tua selama bulan Ramadhan sibuk berbelanja dan memilih baju baru, mengecat rumah, mengganti sofa dan gorden, serta mengisi penuh toples-toples, maka yang tertanam dalam benak anak bahwa puasa identik dengan hal-hal yang bersifat kesenangan fisik atau duniawi. Demikian juga jika selama puasa, setelah sahur boleh tidur kembali, berangkat ke kantor atau sekolah lebih siang, hari sekolah pendek, maka yang terbangun dalam pikiran anak bahwa puasa adalah dispensasi terhadap semua aturan yang biasa berlaku.
Namun, ada juga keluarga yang menyiapkan Ramadhan sedemikan serius dan bermakna, sehingga anak-anaknya merasakan bahwa Ramadhan adalah tamu agung yang dimuliakan dan ditunggu. Mereka mensosialisasikan dan menyegarkan kembali nilai-nilai puasa dengan kajian khusus di rumah kurang lebih sebulan sebelum Ramadhan tiba. Mereka tidak ingin ilmu dan tata cara berpuasa baru dipelajari saat puasa sudah berlangsung.
Pertanyaan-pertanyaan anak dapat diakomodir dari mulai yang sangat sederhana dan tampak sepele sampai hal yang rumit, pada kesempatan dalam persiapan tersebut. Anak yang senang dengan astronomi akan antusias dengan tema mengenai penentuan mulainya puasa dengan hilal, misalnya. Demikian juga seperti pertanyaan di atas dapat dijawab dengan akurat. Oleh karena itu, al-Qur'an, Hadits dan buku-buku mengenai Ramadhan perlu disiapkan.
Orang tua bisa mengatakan bahwa salah salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah justru dengan memberikan kesempatan umatnya untuk berpuasa. Dengan berpuasa, manusia tidak saja sehat secara fisik namun juga memberi sarana bagi manusia untuk meraih kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat.
Ciri khas dari orang yang sukses lahir bathin adalah memiliki disiplin diri (self discipline). Melalui kedisiplinan manusia dapat mengembangkan potensi dahsyat yang ada dalam dirinya. Mereka menggapai puncak sukses bukan karena sebuah tindakan melainkan sebuah kebiasaan.
Para psikolog Barat mengatakan, bahwa untuk membangun sebuah kebiasaan dibutuhkan tindakan secara terus menerus berulang-ulang selama minimal 30 hari. Jumlah 30 hari yang dipersyaratkan oleh para psikolog Barat ternyata hampir sama dengan lamanya puasa di bulan Ramadhan.
Orang tua sebaiknya menjadi teladan bahwa puasa adalah latihan disiplin untuk membiasakan kebaikan ataupun meninggalkan kebiasaan buruk. Dengan bangun lebih awal, aktivitas makan yang teratur, kebiasaan mengendalikan emosi dan nafsu, meningkatkan amal ibadah, mengindari larangan Allah, kemudian menjalankan semua itu dengan khusyu dan teratur secara berulang-ulang, maka kesuksesan dunia dan akhirat, insya Allah akan ada dalam genggaman.
(Majalah Hidayatullah Edisi 5/XXI, Ida S. Widayanti)
Pertanyaan tentang puasa seringkali diajukan anak-anak. Jawaban orang tua pun tentu beragam. Ada yang sebatas memuaskan anak, ada juga yang serius menjawabnya secara ilmiah dari tinjauan kesehatan, ajaran agama, maupun dari sisi kejiwaan. Kualitas jawaban orang tua ini sangat menentukan seberapa jauh pemaknaan anak akan arti puasa.
Tak hanya jawaban, pola kebiasaan orang tua selama Ramadhan pun menentukan makna apa yang diserap anak tentang arti puasa. Ketika orang tua selama bulan Ramadhan sibuk berbelanja dan memilih baju baru, mengecat rumah, mengganti sofa dan gorden, serta mengisi penuh toples-toples, maka yang tertanam dalam benak anak bahwa puasa identik dengan hal-hal yang bersifat kesenangan fisik atau duniawi. Demikian juga jika selama puasa, setelah sahur boleh tidur kembali, berangkat ke kantor atau sekolah lebih siang, hari sekolah pendek, maka yang terbangun dalam pikiran anak bahwa puasa adalah dispensasi terhadap semua aturan yang biasa berlaku.
Namun, ada juga keluarga yang menyiapkan Ramadhan sedemikan serius dan bermakna, sehingga anak-anaknya merasakan bahwa Ramadhan adalah tamu agung yang dimuliakan dan ditunggu. Mereka mensosialisasikan dan menyegarkan kembali nilai-nilai puasa dengan kajian khusus di rumah kurang lebih sebulan sebelum Ramadhan tiba. Mereka tidak ingin ilmu dan tata cara berpuasa baru dipelajari saat puasa sudah berlangsung.
Pertanyaan-pertanyaan anak dapat diakomodir dari mulai yang sangat sederhana dan tampak sepele sampai hal yang rumit, pada kesempatan dalam persiapan tersebut. Anak yang senang dengan astronomi akan antusias dengan tema mengenai penentuan mulainya puasa dengan hilal, misalnya. Demikian juga seperti pertanyaan di atas dapat dijawab dengan akurat. Oleh karena itu, al-Qur'an, Hadits dan buku-buku mengenai Ramadhan perlu disiapkan.
Orang tua bisa mengatakan bahwa salah salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah justru dengan memberikan kesempatan umatnya untuk berpuasa. Dengan berpuasa, manusia tidak saja sehat secara fisik namun juga memberi sarana bagi manusia untuk meraih kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat.
Ciri khas dari orang yang sukses lahir bathin adalah memiliki disiplin diri (self discipline). Melalui kedisiplinan manusia dapat mengembangkan potensi dahsyat yang ada dalam dirinya. Mereka menggapai puncak sukses bukan karena sebuah tindakan melainkan sebuah kebiasaan.
Para psikolog Barat mengatakan, bahwa untuk membangun sebuah kebiasaan dibutuhkan tindakan secara terus menerus berulang-ulang selama minimal 30 hari. Jumlah 30 hari yang dipersyaratkan oleh para psikolog Barat ternyata hampir sama dengan lamanya puasa di bulan Ramadhan.
Orang tua sebaiknya menjadi teladan bahwa puasa adalah latihan disiplin untuk membiasakan kebaikan ataupun meninggalkan kebiasaan buruk. Dengan bangun lebih awal, aktivitas makan yang teratur, kebiasaan mengendalikan emosi dan nafsu, meningkatkan amal ibadah, mengindari larangan Allah, kemudian menjalankan semua itu dengan khusyu dan teratur secara berulang-ulang, maka kesuksesan dunia dan akhirat, insya Allah akan ada dalam genggaman.
(Majalah Hidayatullah Edisi 5/XXI, Ida S. Widayanti)
Jumat, 21 Agustus 2009
Tiga Fenomena Dalam Ramadhan
Tidak terasa saat ini sudah memasuki bulan Agustus 2009. Di bulan Agustus ini umat Islam kedatangan tamu agung yaitu tibanya bulan Ramadhan. Ada beberapa fenomena yang sering terjadi di bulan Ramadhan, yang mungkin hal ini menggambarkan pemahaman sebagian umat Islam terhadap ajarannya sendiri.
Pertama, mungkin kita sebagai kaum muslim baru mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika datangnya bulan Ramadhan. Selama sebelas bulan penuh kita menjauhi al-Qur’an, menjauhi masjid, menjauhi kebaikan. Sebaliknya, mendekati tempat-tempat kemungkaran, merapat pada kejahatan dan melalaikan seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tatkala Ramadhan tiba, kita seolah-olah tersentak kaget, siap menyambut puasa dengan mendatangi masjid beramai-ramai. Kita seolah-olah tenggelam dalam kekhusyukan dan kesahduan puasa di bulan Ramadhan, terlihat bersimpuh, merendahkan diri seolah-olah hendak menipu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berkaitan dengan kondisi di atas, timbul pertanyaan, bukankah kita menyadari bahwa Allah pencipta bulan Ramadhan juga pencipta bulan Sya’ban, Syawwal dan bulan-bulan yang lainnya? Bukankah kita telah mengetahui bahwa Allah Maha Melihat perbuatan manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik di bulan Ramadhan maupun bulan-bulan yang lainnya? Lalu mengapa kita baru terlihat sibuk beribadah pada bulan Ramadhan saja?
Kita menyadari, bahwa Allah senantiasa melihat, mengetahui dan mencatat semua amalan atau perbuatan kita, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu marilah kita masing-masing berusaha untuk berbuat baik tidak hanya di bulan Ramadhan saja. Mudah-mudahan kita senantiasa diberi kekuatan, kesehatan untuk melakukan amal kebaikan.
Kedua, pada malam-malam bulan Ramadhan kita sebagai kaum muslim meramaikannya dengan shalat tarawih berjama’ah, hingga masjid-masjid dan mushalla-mushalla penuh sesak bahkan meluber ke jalan-jalan. Pemandangan ini sungguh sangat menggembirakan, tapi pertanyaannya, kemana kita setelah Ramadhan berakhir?
Padahal shalat tarawih kedudukannya hanyalah sunnah. Sedangkan shalat lima waktu adalah fardhu, yang harus (wajib) dilaksanakan secara berjamaah di masjid (bagi kaum pria yang mampu dan tidak ada halangan). Pemahaman yang keliru sebagaimana yang dipraktekan selama ini nampaknya sudah saatnya kita masing-masing berusaha untuk memperbaikinya. Kita menyadari bahwa amalan yang wajib harus diutamakan daripada amalan sunnah. Menjalankan shalat fardhu berjamaah lebih penting dan lebih utama daripada shalat tarawih berjamaah.
Ketiga, kebiasaan buruk selama puasa adalah memperpanjang tidur di siang hari. Ada sebagian yang meneruskan tidurnya setelah shalat Subuh hingga siang hari dan ada pula yang tidur mulai dari Dzuhur hingga Ashar. Dengan tidur sepanjang itu, di mana kenikmatan menjalankan ibadah puasa? Di mana kita berlatih menahan lapar, merasakan pahit getirnya nasib para fuqara dan masakin?
Lebih ironis lagi jika malam-malam hari Ramadhan dihabiskan untuk begadang dengan melakukan perbuatan yang sia-sia, mendengarkan lagu-lagu lewat radio, menonton televisi hingga larut malam, sementara siang harinya justru dipakai untuk tidur. Lalu di mana makna iman di bulan Ramadhan?
Tidur siang hari memang tidak dilarang, jika dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Tetapi jika dilakukan dalam tempo yang sangat panjang, lalu di mana makna puasa? Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memanfaatkan bulan Ramadhan untuk berperang, lalu pastaskah jika kita justru menghabiskannya untuk tidur-tiduran?
(Disarikan dari Majalah Hidayatullah Edisi 05/XXI, Ustadz Abdurrahman Muhammad)
Pertama, mungkin kita sebagai kaum muslim baru mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika datangnya bulan Ramadhan. Selama sebelas bulan penuh kita menjauhi al-Qur’an, menjauhi masjid, menjauhi kebaikan. Sebaliknya, mendekati tempat-tempat kemungkaran, merapat pada kejahatan dan melalaikan seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tatkala Ramadhan tiba, kita seolah-olah tersentak kaget, siap menyambut puasa dengan mendatangi masjid beramai-ramai. Kita seolah-olah tenggelam dalam kekhusyukan dan kesahduan puasa di bulan Ramadhan, terlihat bersimpuh, merendahkan diri seolah-olah hendak menipu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berkaitan dengan kondisi di atas, timbul pertanyaan, bukankah kita menyadari bahwa Allah pencipta bulan Ramadhan juga pencipta bulan Sya’ban, Syawwal dan bulan-bulan yang lainnya? Bukankah kita telah mengetahui bahwa Allah Maha Melihat perbuatan manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik di bulan Ramadhan maupun bulan-bulan yang lainnya? Lalu mengapa kita baru terlihat sibuk beribadah pada bulan Ramadhan saja?
Kita menyadari, bahwa Allah senantiasa melihat, mengetahui dan mencatat semua amalan atau perbuatan kita, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu marilah kita masing-masing berusaha untuk berbuat baik tidak hanya di bulan Ramadhan saja. Mudah-mudahan kita senantiasa diberi kekuatan, kesehatan untuk melakukan amal kebaikan.
Kedua, pada malam-malam bulan Ramadhan kita sebagai kaum muslim meramaikannya dengan shalat tarawih berjama’ah, hingga masjid-masjid dan mushalla-mushalla penuh sesak bahkan meluber ke jalan-jalan. Pemandangan ini sungguh sangat menggembirakan, tapi pertanyaannya, kemana kita setelah Ramadhan berakhir?
Padahal shalat tarawih kedudukannya hanyalah sunnah. Sedangkan shalat lima waktu adalah fardhu, yang harus (wajib) dilaksanakan secara berjamaah di masjid (bagi kaum pria yang mampu dan tidak ada halangan). Pemahaman yang keliru sebagaimana yang dipraktekan selama ini nampaknya sudah saatnya kita masing-masing berusaha untuk memperbaikinya. Kita menyadari bahwa amalan yang wajib harus diutamakan daripada amalan sunnah. Menjalankan shalat fardhu berjamaah lebih penting dan lebih utama daripada shalat tarawih berjamaah.
Ketiga, kebiasaan buruk selama puasa adalah memperpanjang tidur di siang hari. Ada sebagian yang meneruskan tidurnya setelah shalat Subuh hingga siang hari dan ada pula yang tidur mulai dari Dzuhur hingga Ashar. Dengan tidur sepanjang itu, di mana kenikmatan menjalankan ibadah puasa? Di mana kita berlatih menahan lapar, merasakan pahit getirnya nasib para fuqara dan masakin?
Lebih ironis lagi jika malam-malam hari Ramadhan dihabiskan untuk begadang dengan melakukan perbuatan yang sia-sia, mendengarkan lagu-lagu lewat radio, menonton televisi hingga larut malam, sementara siang harinya justru dipakai untuk tidur. Lalu di mana makna iman di bulan Ramadhan?
Tidur siang hari memang tidak dilarang, jika dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Tetapi jika dilakukan dalam tempo yang sangat panjang, lalu di mana makna puasa? Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memanfaatkan bulan Ramadhan untuk berperang, lalu pastaskah jika kita justru menghabiskannya untuk tidur-tiduran?
(Disarikan dari Majalah Hidayatullah Edisi 05/XXI, Ustadz Abdurrahman Muhammad)
Minggu, 26 Juli 2009
Rabu, 22 Juli 2009
Kualitas Distractor dalam Soal Pilihan Ganda
Untuk mengadakan evaluasi atau melihat hasil belajar biasanya siswa diberikan tes, soal yang diberikan tentu disesuaikan dengan materi (pokok bahasan) yang telah diajarkan. Terdapat beberapa macam soal yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut, diantaranya adalah soal pilihan ganda.
Minggu, 28 Juni 2009
Tak Gendong Ke Mana-mana
Dibeberapa sekolah dasar, biasanya para siswa dilatih untuk belajar menabung, dari mulai siswa kelas satu sampai kelas enam. Kegiatan menabung dimulai dari awal tahun pelajaran untuk setiap tahunnya, sedangkan hasil tabungan tersebut baru dapat diambil menjelang kenaikan kelas.
Sudah barang tentu para siswa di sekolah tersebut berbeda-beda kemampuan (tingkat ekonomi) orang tuanya, maka jumlah uang yang ditabung juga bervariasi. Bagi orang tua siswa yang kaya dan mengerti, jumlah tabungannya akan sangat besar (katakanlah sehari dapat menabung 50000 ruapiah). Demikian pula sebaliknya, bagi orang tua siswa yang kurang mampu, mungkin dalam sehari paling besar dapat menabung hanya 5000 rupiah atau mungkin menabung tersebut tidak dilakukan setiap hari.
Biasanya uang tabungan tersebut dikumpulkan (dikelola) oleh guru kelas masing-masing untuk setiap kelasnya. Dalam hal ini guru kelas bertanggung jawab untuk memegang uang dan membagikannya bila saatnya tiba. Guru kelas harus berhati-hati sekali dalam memelihara tabungan para siswanya (mungkin godaannya sangat buuesar).
Ternyata tidak setiap guru kelas tahan terhadap godaan yang menghadang. Hal ini terjadi di suatu Sekolah Dasar Entah Brantah terlihat ketika menjelang tiba saatnya pembagian uang tabungan, beberapa guru kelas meminta agar jadwal pembagian tabungan diundur beberapa hari (kira-kira kenapa ya?, barangkali uangnya ditabung di Surya, di Yogya atau di warung-warung yang dekat dengan rumah). Namun ada dua guru di sekolah tersebut yang membagikan tabungan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya. Kedua guru tersebut serempak berkata, "emang, uang tabungan mereka selalu Tak Gendong Ke Mana-mana, haa..haa..haa".
Sudah barang tentu para siswa di sekolah tersebut berbeda-beda kemampuan (tingkat ekonomi) orang tuanya, maka jumlah uang yang ditabung juga bervariasi. Bagi orang tua siswa yang kaya dan mengerti, jumlah tabungannya akan sangat besar (katakanlah sehari dapat menabung 50000 ruapiah). Demikian pula sebaliknya, bagi orang tua siswa yang kurang mampu, mungkin dalam sehari paling besar dapat menabung hanya 5000 rupiah atau mungkin menabung tersebut tidak dilakukan setiap hari.
Biasanya uang tabungan tersebut dikumpulkan (dikelola) oleh guru kelas masing-masing untuk setiap kelasnya. Dalam hal ini guru kelas bertanggung jawab untuk memegang uang dan membagikannya bila saatnya tiba. Guru kelas harus berhati-hati sekali dalam memelihara tabungan para siswanya (mungkin godaannya sangat buuesar).
Ternyata tidak setiap guru kelas tahan terhadap godaan yang menghadang. Hal ini terjadi di suatu Sekolah Dasar Entah Brantah terlihat ketika menjelang tiba saatnya pembagian uang tabungan, beberapa guru kelas meminta agar jadwal pembagian tabungan diundur beberapa hari (kira-kira kenapa ya?, barangkali uangnya ditabung di Surya, di Yogya atau di warung-warung yang dekat dengan rumah). Namun ada dua guru di sekolah tersebut yang membagikan tabungan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya. Kedua guru tersebut serempak berkata, "emang, uang tabungan mereka selalu Tak Gendong Ke Mana-mana, haa..haa..haa".
Selasa, 02 Juni 2009
Seorang Kepsek Berprestasi Jadi Jutawan
Menjelang berakhirnya tahun pelajaran banyak pekerjaan ataupun kegiatan yang biasa dilaksanakan oleh pihak sekolah. Misalnya di sekolah dasar, terutama berkaitan dengan murid kelas enam. Mereka disamping akan melanjutkan ke sekolah menengah juga biasanya diminta untuk mengadakan acara perpisahan. Untuk mengemas semua kegiatan tersebut, pihak sekolah mengadakan kerjasama dengan para orang tua murid kelas enam. Pihak sekolah tentu sangat berperan dalam kegiatan ini, terutama Kepala Sekolah.
Sudah barang tentu untuk terlaksananya kegaiatan tersebut dibutuhkan dana yang cukup (tidak berlebihan). Berbicara masalah dana, maka dalam hal ini Kepala Sekolah berusaha sesuai dengan kemampunannya untuk menggalang dana, tentu tidak terlepas dari pihak orang tua murid sebagai penyedia sumber dana tersebut. Kepala Sekolah dengan memanfaatkan kepiawaiannya, maka terkumpullah dana yang diperlukan tersebut.
Namun setelah dana terkumpul, timbul beberapa pertanyaan dari pihak orang tua murid. Mereka menduga dana yang diperlukan sangat banyak, dengan rincian untuk setiap sub kegiatan nampaknya terlalu berlebihan. Dalam rincian tersebut juga terdapat sub yang tidak jelas keberadaannya. Pihak orang tua semakin bertanya-tanya atas ketidakjelasan dana tersebut.
Pihak orang tua murid mulai menyadari, bahwa mereka telah terhipnotis oleh kepiawaian seorang Kepala Sekolah yang mungkin telah menggunakan ajian mungpungnya. Mungkin karena mereka teraniaya, tenyata dugaan mereka tidak diragukan ada dana yang dipaksakan diadakan entah untuk apa atau untuk siapa. Mungkin dana itu untuk seorang yang piawai tadi. Mungkin, mungkin, memang dari dulu dia berprestasi dalam urusan pesaknya, dia jutawan.
Terdengar suara dentuman di luar rumah (entah apa), saya terbangun dari tidur di siang bolong (tertidur sekitar jam sebelasan setiba menjemput anak dari sekolah). Rupanya tulisan di atas hanya sekedar mimpi. Mungkinkah ada kejadian nyata seperti itu? Mungkin ada di sekolah entah brantah...
Sudah barang tentu untuk terlaksananya kegaiatan tersebut dibutuhkan dana yang cukup (tidak berlebihan). Berbicara masalah dana, maka dalam hal ini Kepala Sekolah berusaha sesuai dengan kemampunannya untuk menggalang dana, tentu tidak terlepas dari pihak orang tua murid sebagai penyedia sumber dana tersebut. Kepala Sekolah dengan memanfaatkan kepiawaiannya, maka terkumpullah dana yang diperlukan tersebut.
Namun setelah dana terkumpul, timbul beberapa pertanyaan dari pihak orang tua murid. Mereka menduga dana yang diperlukan sangat banyak, dengan rincian untuk setiap sub kegiatan nampaknya terlalu berlebihan. Dalam rincian tersebut juga terdapat sub yang tidak jelas keberadaannya. Pihak orang tua semakin bertanya-tanya atas ketidakjelasan dana tersebut.
Pihak orang tua murid mulai menyadari, bahwa mereka telah terhipnotis oleh kepiawaian seorang Kepala Sekolah yang mungkin telah menggunakan ajian mungpungnya. Mungkin karena mereka teraniaya, tenyata dugaan mereka tidak diragukan ada dana yang dipaksakan diadakan entah untuk apa atau untuk siapa. Mungkin dana itu untuk seorang yang piawai tadi. Mungkin, mungkin, memang dari dulu dia berprestasi dalam urusan pesaknya, dia jutawan.
Terdengar suara dentuman di luar rumah (entah apa), saya terbangun dari tidur di siang bolong (tertidur sekitar jam sebelasan setiba menjemput anak dari sekolah). Rupanya tulisan di atas hanya sekedar mimpi. Mungkinkah ada kejadian nyata seperti itu? Mungkin ada di sekolah entah brantah...
Senin, 04 Mei 2009
Jumat, 01 Mei 2009
Lomba Matematika antara Guru dan Kepsek
Mungkin cerita ini terjadi di negeri Entah Berantah, karena hal ini dihasilkan ketika penulis berada di alam bawah sadar (bukan pengaruh hipnotis). Cerita ini terjadi di suatu sekolah dasar, yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah (kalau tidak salah ia bernama Asuatama) dan terdapat beberapa orang guru sebagai pengajar di sekolah tersebut. Secara umum guru tersebut adalah sebagai guru kelas, artinya mereka harus meguasai dan mampu mengajarkan semua mata pelajaran yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku (mungkin Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Diantara mata pelajaran yang harus mereka kuasai adalah pelajaran matematika (termasuk kepala sekolah harus menguasai mata pelajaran tersebut, karena ia pada dasarnya adalah guru juga).
Pada suatu hari (tanpa direncanakan sebelumnya), Kepala Sekolah mengajak lomba kepada semua guru yang saat itu hadir. Dalam hal ini adalah lomba matematika antara guru dan kepala sekolah (mungkin menarik ya). Materi yang dilombakan sederhana saja (mungkin untuk penyegaran saja), yaitu meliputi materi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan bulat (mungkin merupakan materi dasar yang harus dikuasai oleh mereka). Soal yang disajikanpun tidak banyak, hanya empat soal saja sesuai dengan materi di atas.
Setelah soal disediakan maka berlangsunglah perlombaan tersebut. Hasil dari perlombaan tersebut ternyata semua guru dapat mengerjakan setiap soal dengan benar, baik materi penjumlahan, pengurangan, perkalian maupun pembagian. Sebaliknya ketika Kepala Sekolah mengerjakan keempat soal tersebut, ia hanya mampu mengerjakan dengan benar tiga soal saja. Sedangkan satu soal lagi tidak dijawabnya dengan benar, yaitu berkaitan dengan soal pembagian.
Ketika semua guru mengetahui bahwa Kepala Sekolah tidak mampu mengerjakan soal pembagaian, mereka dengan serempak mengatakan, "Memang urusan bagi membagi itu, Kepala Sekolah mempunyai caranya sendiri, tidak tahu berapa yang masuk ke pesaknya".
Mungkin itu sekedar guyonan yang pernah terjadi dalam mimpi di negeri entah berantah, ha ha.
Pada suatu hari (tanpa direncanakan sebelumnya), Kepala Sekolah mengajak lomba kepada semua guru yang saat itu hadir. Dalam hal ini adalah lomba matematika antara guru dan kepala sekolah (mungkin menarik ya). Materi yang dilombakan sederhana saja (mungkin untuk penyegaran saja), yaitu meliputi materi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan bulat (mungkin merupakan materi dasar yang harus dikuasai oleh mereka). Soal yang disajikanpun tidak banyak, hanya empat soal saja sesuai dengan materi di atas.
Setelah soal disediakan maka berlangsunglah perlombaan tersebut. Hasil dari perlombaan tersebut ternyata semua guru dapat mengerjakan setiap soal dengan benar, baik materi penjumlahan, pengurangan, perkalian maupun pembagian. Sebaliknya ketika Kepala Sekolah mengerjakan keempat soal tersebut, ia hanya mampu mengerjakan dengan benar tiga soal saja. Sedangkan satu soal lagi tidak dijawabnya dengan benar, yaitu berkaitan dengan soal pembagian.
Ketika semua guru mengetahui bahwa Kepala Sekolah tidak mampu mengerjakan soal pembagaian, mereka dengan serempak mengatakan, "Memang urusan bagi membagi itu, Kepala Sekolah mempunyai caranya sendiri, tidak tahu berapa yang masuk ke pesaknya".
Mungkin itu sekedar guyonan yang pernah terjadi dalam mimpi di negeri entah berantah, ha ha.
Padepokan Tumaritis
Sebelum menceritakan peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Padepokan Tumaritis, perlu diinformasikan terlebih dahulu (barangkali lupa) tentang arti padepokan. Dalam cerita ini padepokan dianalogkan dengan perguruan (mungkin perguruan tinggi). Di Padepokan ini yang menjadi pucuk pimpimannya adalah Ki Semar Badranaya, sedangkan pembantunya terdiri dari Astrajingga, Dawala dan Gareng. Mereka adalah tokoh-tokoh yang diakui jujur, konsisten dan tanpa pamrih dalam melaksanakan setiap tugas yang diembannya.
Dalam suatu pekan, di Padepokan Tumaritis diadakan suatu kegiatan (mungkin saembara). Setiap peserta yang mengikuti kegiatan tersebut harus memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak panitia yang berwenang. Artinya apapun alasannya, bagi calon peserta yang belum atau tidak melengkapi persyaratan yang ditentukan maka tidak berhak untuk mengikuti saembara tersebut. Dihari pertama saembara berlangsung dengan tertib dan aman (tanpa ada gangguan yang berarti). Pada hari kedua (pagi hari) agak sedikit kurang tertib, ternyata pemicunya adalah ada beberapa calon perserta yang persayaratannya belum (tidak) dipenuhi, mereka memaksa agar dapat mengikuti saembara pada hari berikutnya. Namun pihak panitia tetap tidak membolehkan, karena mereka memang tidak memenuhi persyaratan (kewajiban) yang harus diselesaikan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Nampaknya mereka tidak puas atas keputusan panitia pelaksana, maka mereka melakukan protes lanjutan (padahal sudah jelas-jelas mereka tidak memenuhi kewajiban). Dalam protes lanjutan tersebut, ternyata mereka meminta dukungan (sebagai solidaritas) kepada bala (teman) mereka yang tidak terkait (bukan peserta) pada kegiatan saembara tersebut. Mungkin bala mereka ini berasal dari tempat lain (barangkali berasal dari Kurawa, mungkin juga sebagai propokator). Dalam protes ini mereka dan balanya langsung mendatangi Pimpinan Padepokan Tumaritis (Ki Semar Badranaya). Mereka memprotes karena adanya ketidakadilan dalam pelaksanaan saembara tersebut, mengapa mereka tidak bisa juga mengikuti kegiatan ini (seolah-olah mereka tidak memahami prosedur, padahal tahu). Karena dalam protes tersebut nampaknya ditumpangi propokator (pandai bersilat lidah, namun yang diucapkannya membela yang salah), tentu Ki Semar harus berbicara yang tegas dan proporsional. Pada siang harinya, sebelum mengambil keputusan ternyata Ki Semar memanggil salah seorang panitia pelaksana (walaupun mungkin hal ini keliru, karena panitia sebenarnya bukan bawahan atau pembantu langsung). Pembicaraan antara Ki Semar dan panitia saembara tersebut, dihasilkan suatu keputusan bahwa mereka (calon peserta) dapat mengikuti kegiatan saembara dengan alasan sebelumnya mereka sudah menandatangi perjanjian yang dapat dijadikan sandaran untuk mengikuti kegiatan tersebut. Sehingga diakhir pertemuan tersebut nampaknya sudah clear (jelas), bahwa Ki Semar membolehkan mereka mengikuti kegiatan tersebut yang jadwalnya ditentukan oleh panitia pelaksana.
Mungkin hasil protes kedua ini masih belum memuaskan juga, mereka memutuskan akan melakukan aksi (mungkin demo ya) pada keesokan harinya (mungkin ditumpangi propokator). Karena diketahui akan dilakukan aksi tersebut, pada sore harinya (menjelang maghrib), seorang abdi dalem menelepon langsung kepada ketua panitia saembara. Ia mengatakan bahwa besok pagi akan ada aksi, dimana mungkin pelakunya adalah mereka calon peserta saembara yang meresa belum puas terhadap pelanggaran peraturan (dari peraturan yang sudah sitetapkan) oleh Pimpinan Padepokan Tumaritis.
Ternyata betul saja esok harinya, mereka (calon peserta dan beberapa balanya yang beasal dari Kurawa) memberanikan diri melakukan aksi. Mereka datang dengan bergerombol (sopan) dan disambut dengan respon yang hangat oleh jajaran panitia saembara. Panitia mempersilahkan mereka untuk memasuki ruangan yang sebelumnya sudah sisepakati sebagai tempat untuk berdiskusi dengan mereka (pelaku aksi).
Diskusi diawali oleh perwakilan dari jajaran panitia dan peserta aksi. Selanjutnya diskusi terjadi dengan banyak arah. Sempat terjadi bersitegang dalam diskusi tersebut, namun pihak panitia dapat mengatasinya. Dengan waktu yang cukup panjang, akhirnya diskusi dapat diselesaikan dengan tidak menimbulkan kericuhan, tentu ini salah satunya karena kemampuan dari panitia dalam menangani diskusi tersebut. Diakhir waktu diskusi ternyata para peserta aksi sempat meminta permohonan maaf, karena sebetulnya mereka melaksanakan aksi yang salah alamat.
Mudah-mudahan mereka kembali kepada jalan yang benar (sesuai aturan yang berlaku).
Dalam suatu pekan, di Padepokan Tumaritis diadakan suatu kegiatan (mungkin saembara). Setiap peserta yang mengikuti kegiatan tersebut harus memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak panitia yang berwenang. Artinya apapun alasannya, bagi calon peserta yang belum atau tidak melengkapi persyaratan yang ditentukan maka tidak berhak untuk mengikuti saembara tersebut. Dihari pertama saembara berlangsung dengan tertib dan aman (tanpa ada gangguan yang berarti). Pada hari kedua (pagi hari) agak sedikit kurang tertib, ternyata pemicunya adalah ada beberapa calon perserta yang persayaratannya belum (tidak) dipenuhi, mereka memaksa agar dapat mengikuti saembara pada hari berikutnya. Namun pihak panitia tetap tidak membolehkan, karena mereka memang tidak memenuhi persyaratan (kewajiban) yang harus diselesaikan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Nampaknya mereka tidak puas atas keputusan panitia pelaksana, maka mereka melakukan protes lanjutan (padahal sudah jelas-jelas mereka tidak memenuhi kewajiban). Dalam protes lanjutan tersebut, ternyata mereka meminta dukungan (sebagai solidaritas) kepada bala (teman) mereka yang tidak terkait (bukan peserta) pada kegiatan saembara tersebut. Mungkin bala mereka ini berasal dari tempat lain (barangkali berasal dari Kurawa, mungkin juga sebagai propokator). Dalam protes ini mereka dan balanya langsung mendatangi Pimpinan Padepokan Tumaritis (Ki Semar Badranaya). Mereka memprotes karena adanya ketidakadilan dalam pelaksanaan saembara tersebut, mengapa mereka tidak bisa juga mengikuti kegiatan ini (seolah-olah mereka tidak memahami prosedur, padahal tahu). Karena dalam protes tersebut nampaknya ditumpangi propokator (pandai bersilat lidah, namun yang diucapkannya membela yang salah), tentu Ki Semar harus berbicara yang tegas dan proporsional. Pada siang harinya, sebelum mengambil keputusan ternyata Ki Semar memanggil salah seorang panitia pelaksana (walaupun mungkin hal ini keliru, karena panitia sebenarnya bukan bawahan atau pembantu langsung). Pembicaraan antara Ki Semar dan panitia saembara tersebut, dihasilkan suatu keputusan bahwa mereka (calon peserta) dapat mengikuti kegiatan saembara dengan alasan sebelumnya mereka sudah menandatangi perjanjian yang dapat dijadikan sandaran untuk mengikuti kegiatan tersebut. Sehingga diakhir pertemuan tersebut nampaknya sudah clear (jelas), bahwa Ki Semar membolehkan mereka mengikuti kegiatan tersebut yang jadwalnya ditentukan oleh panitia pelaksana.
Mungkin hasil protes kedua ini masih belum memuaskan juga, mereka memutuskan akan melakukan aksi (mungkin demo ya) pada keesokan harinya (mungkin ditumpangi propokator). Karena diketahui akan dilakukan aksi tersebut, pada sore harinya (menjelang maghrib), seorang abdi dalem menelepon langsung kepada ketua panitia saembara. Ia mengatakan bahwa besok pagi akan ada aksi, dimana mungkin pelakunya adalah mereka calon peserta saembara yang meresa belum puas terhadap pelanggaran peraturan (dari peraturan yang sudah sitetapkan) oleh Pimpinan Padepokan Tumaritis.
Ternyata betul saja esok harinya, mereka (calon peserta dan beberapa balanya yang beasal dari Kurawa) memberanikan diri melakukan aksi. Mereka datang dengan bergerombol (sopan) dan disambut dengan respon yang hangat oleh jajaran panitia saembara. Panitia mempersilahkan mereka untuk memasuki ruangan yang sebelumnya sudah sisepakati sebagai tempat untuk berdiskusi dengan mereka (pelaku aksi).
Diskusi diawali oleh perwakilan dari jajaran panitia dan peserta aksi. Selanjutnya diskusi terjadi dengan banyak arah. Sempat terjadi bersitegang dalam diskusi tersebut, namun pihak panitia dapat mengatasinya. Dengan waktu yang cukup panjang, akhirnya diskusi dapat diselesaikan dengan tidak menimbulkan kericuhan, tentu ini salah satunya karena kemampuan dari panitia dalam menangani diskusi tersebut. Diakhir waktu diskusi ternyata para peserta aksi sempat meminta permohonan maaf, karena sebetulnya mereka melaksanakan aksi yang salah alamat.
Mudah-mudahan mereka kembali kepada jalan yang benar (sesuai aturan yang berlaku).
Langganan:
Postingan (Atom)