"Bunda, katanya Allah sayang kita, tapi mengapa kita disuruh puasa, kan jadinya lapar?" ujar seorang anak.
Pertanyaan tentang puasa seringkali diajukan anak-anak. Jawaban orang tua pun tentu beragam. Ada yang sebatas memuaskan anak, ada juga yang serius menjawabnya secara ilmiah dari tinjauan kesehatan, ajaran agama, maupun dari sisi kejiwaan. Kualitas jawaban orang tua ini sangat menentukan seberapa jauh pemaknaan anak akan arti puasa.
Tak hanya jawaban, pola kebiasaan orang tua selama Ramadhan pun menentukan makna apa yang diserap anak tentang arti puasa. Ketika orang tua selama bulan Ramadhan sibuk berbelanja dan memilih baju baru, mengecat rumah, mengganti sofa dan gorden, serta mengisi penuh toples-toples, maka yang tertanam dalam benak anak bahwa puasa identik dengan hal-hal yang bersifat kesenangan fisik atau duniawi. Demikian juga jika selama puasa, setelah sahur boleh tidur kembali, berangkat ke kantor atau sekolah lebih siang, hari sekolah pendek, maka yang terbangun dalam pikiran anak bahwa puasa adalah dispensasi terhadap semua aturan yang biasa berlaku.
Namun, ada juga keluarga yang menyiapkan Ramadhan sedemikan serius dan bermakna, sehingga anak-anaknya merasakan bahwa Ramadhan adalah tamu agung yang dimuliakan dan ditunggu. Mereka mensosialisasikan dan menyegarkan kembali nilai-nilai puasa dengan kajian khusus di rumah kurang lebih sebulan sebelum Ramadhan tiba. Mereka tidak ingin ilmu dan tata cara berpuasa baru dipelajari saat puasa sudah berlangsung.
Pertanyaan-pertanyaan anak dapat diakomodir dari mulai yang sangat sederhana dan tampak sepele sampai hal yang rumit, pada kesempatan dalam persiapan tersebut. Anak yang senang dengan astronomi akan antusias dengan tema mengenai penentuan mulainya puasa dengan hilal, misalnya. Demikian juga seperti pertanyaan di atas dapat dijawab dengan akurat. Oleh karena itu, al-Qur'an, Hadits dan buku-buku mengenai Ramadhan perlu disiapkan.
Orang tua bisa mengatakan bahwa salah salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah justru dengan memberikan kesempatan umatnya untuk berpuasa. Dengan berpuasa, manusia tidak saja sehat secara fisik namun juga memberi sarana bagi manusia untuk meraih kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat.
Ciri khas dari orang yang sukses lahir bathin adalah memiliki disiplin diri (self discipline). Melalui kedisiplinan manusia dapat mengembangkan potensi dahsyat yang ada dalam dirinya. Mereka menggapai puncak sukses bukan karena sebuah tindakan melainkan sebuah kebiasaan.
Para psikolog Barat mengatakan, bahwa untuk membangun sebuah kebiasaan dibutuhkan tindakan secara terus menerus berulang-ulang selama minimal 30 hari. Jumlah 30 hari yang dipersyaratkan oleh para psikolog Barat ternyata hampir sama dengan lamanya puasa di bulan Ramadhan.
Orang tua sebaiknya menjadi teladan bahwa puasa adalah latihan disiplin untuk membiasakan kebaikan ataupun meninggalkan kebiasaan buruk. Dengan bangun lebih awal, aktivitas makan yang teratur, kebiasaan mengendalikan emosi dan nafsu, meningkatkan amal ibadah, mengindari larangan Allah, kemudian menjalankan semua itu dengan khusyu dan teratur secara berulang-ulang, maka kesuksesan dunia dan akhirat, insya Allah akan ada dalam genggaman.
(Majalah Hidayatullah Edisi 5/XXI, Ida S. Widayanti)
Sabtu, 22 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar