Kamis, 27 Agustus 2009

Ramadhan Bulan Kelezatan

Lezat bersama Al-Qur'an

Para ulama sepakat bahwa Ramadhan adalah bulan istimewa. Di bulan ini malaikat Jibril turun ke bumi membawa wahyu kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang bertahannuts (meyendiri) di Gua Hira. Saat itu Jibril membacakan lima ayat awal surat al-'Alaq (silakan bisa dilihat langsung dalam al-Qur'an!).

Al-Qur'an adalah petunjuk, kompas dan panduan hidup manusia. Ia adalah cahaya hidup. Sebagai cahaya, ia akan bisa terpantul sempurna jika diserap oleh cermin yang bersih. Cermin yang bersih itu adalah gambaran hati orang-orang mukmin yang telah terampuni dosanya melalui pembakaran (Ramadhan) yang dijalani secara benar dan sempurna.

Dalam kondisi seperti inilah al-Qur'an itu nuzul atau landing di hati manusia. Ia tidak sekedar diterima dengan logika, tetapi menancap dalam hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kebenaran al-Qur'an tidak saja diterima dengan akal pikiran beliau, tetapi juga menjadi pengalaman spiritual beliau yang sulit tercabut dari akarnya. Al-Qur'an tidak saja menerangi hati beliau, tetapi juga menerangi masyarakat sekelilingnya. Ia telah menjadi cahaya bagi semesta.

Karena itu, al-Qur'an di bulan Ramadhan memberi nuansa kelezatan tersendiri yang berbeda dengan bulan-bulan yang lainnya. Al-Qur'an pada bulan ini benar-benar telah mengantarkan kaum muslimin pada kehidupan yang menyenangkan, menghembuskan aroma kesegaran jiwa dan menyingkirkan hawa nafsu.

Al-Qur'an adalah petunjuk bagi manusia menuju jalan yang lurus. Ia adalah cahaya, obat penawar hati, sekaligus sebagai bukti (hujjah), wawasan dan sumber ilmu. Al-Qur'an adalah ruh kehidupan. Ia merupakan sumber keselamatan dan kebahagiaan.

Adalah suatu bencana jika al-Qur'an telah tergantikan dengan bacaan yang lain. Al-Qur'an tidak bolah tergeser oleh bacaan apapun. Membaca buku apa saja boleh, tetapi al-Qur'an tetap harus menjadi saringannya. Al-Qur'an tetap menjadi rujukannya. Al-Qur'an harus tetap menjadi pedomannya. Kebenaran, kebaikan dan keindahan sesuatu yang harus diukur dengan al-Qur'an. Ia harus menjadi alat kontrol atas logika dan rasa.

Amalan yang Lezat

Ada tiga amalan yang menonjol pada bulan Ramadhan, yaitu tartilul Qur'an (membaca al-Qur'an), qiyamul lail (shalat malam) dan berzakat serta bersedekah. Ketiga kegiatan yang mendominasi hari-hari di bulan Ramadhan inilah yang memberi kelezatan utama.

Di dalam keluarga, orang tua harus menjadi tauladan (uswah) bagi seluruh anggota keluarganya dalam menjalankan ketiga agenda tersebut. Mereka menjalankan seluruh shalat-shalat fardhunya di masjid secara berjamaah. Tentunya tak lupa menyertainya dengan shalat-shalat sunnah rawatib. Di malam harinya, mereka mengidupkannya dengan shalat lail.

Bagi orang yang beriman, malam-malam bulan Ramadhan terasa singkat, karena mereka merasakan kelezatan beribadah kepada Allah Yang Maha Tinggi. Rumah mereka ketika di malam hari, terutama di bulan Ramadhan tak ubahnya seperti madrasah. Lalu bagaimana dengan rumah kita? Bagaimana pula dengan lingkungan kita? Sudahkah kita meramadhankannya?

(Disarikan dari Majalah Hidayatullah Edisi 05/XXI, Hamim Thohari)

Sabtu, 22 Agustus 2009

Khusyu Berpuasa

"Bunda, katanya Allah sayang kita, tapi mengapa kita disuruh puasa, kan jadinya lapar?" ujar seorang anak.

Pertanyaan tentang puasa seringkali diajukan anak-anak. Jawaban orang tua pun tentu beragam. Ada yang sebatas memuaskan anak, ada juga yang serius menjawabnya secara ilmiah dari tinjauan kesehatan, ajaran agama, maupun dari sisi kejiwaan. Kualitas jawaban orang tua ini sangat menentukan seberapa jauh pemaknaan anak akan arti puasa.

Tak hanya jawaban, pola kebiasaan orang tua selama Ramadhan pun menentukan makna apa yang diserap anak tentang arti puasa. Ketika orang tua selama bulan Ramadhan sibuk berbelanja dan memilih baju baru, mengecat rumah, mengganti sofa dan gorden, serta mengisi penuh toples-toples, maka yang tertanam dalam benak anak bahwa puasa identik dengan hal-hal yang bersifat kesenangan fisik atau duniawi. Demikian juga jika selama puasa, setelah sahur boleh tidur kembali, berangkat ke kantor atau sekolah lebih siang, hari sekolah pendek, maka yang terbangun dalam pikiran anak bahwa puasa adalah dispensasi terhadap semua aturan yang biasa berlaku.

Namun, ada juga keluarga yang menyiapkan Ramadhan sedemikan serius dan bermakna, sehingga anak-anaknya merasakan bahwa Ramadhan adalah tamu agung yang dimuliakan dan ditunggu. Mereka mensosialisasikan dan menyegarkan kembali nilai-nilai puasa dengan kajian khusus di rumah kurang lebih sebulan sebelum Ramadhan tiba. Mereka tidak ingin ilmu dan tata cara berpuasa baru dipelajari saat puasa sudah berlangsung.

Pertanyaan-pertanyaan anak dapat diakomodir dari mulai yang sangat sederhana dan tampak sepele sampai hal yang rumit, pada kesempatan dalam persiapan tersebut. Anak yang senang dengan astronomi akan antusias dengan tema mengenai penentuan mulainya puasa dengan hilal, misalnya. Demikian juga seperti pertanyaan di atas dapat dijawab dengan akurat. Oleh karena itu, al-Qur'an, Hadits dan buku-buku mengenai Ramadhan perlu disiapkan.

Orang tua bisa mengatakan bahwa salah salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah justru dengan memberikan kesempatan umatnya untuk berpuasa. Dengan berpuasa, manusia tidak saja sehat secara fisik namun juga memberi sarana bagi manusia untuk meraih kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat.

Ciri khas dari orang yang sukses lahir bathin adalah memiliki disiplin diri (self discipline). Melalui kedisiplinan manusia dapat mengembangkan potensi dahsyat yang ada dalam dirinya. Mereka menggapai puncak sukses bukan karena sebuah tindakan melainkan sebuah kebiasaan.

Para psikolog Barat mengatakan, bahwa untuk membangun sebuah kebiasaan dibutuhkan tindakan secara terus menerus berulang-ulang selama minimal 30 hari. Jumlah 30 hari yang dipersyaratkan oleh para psikolog Barat ternyata hampir sama dengan lamanya puasa di bulan Ramadhan.

Orang tua sebaiknya menjadi teladan bahwa puasa adalah latihan disiplin untuk membiasakan kebaikan ataupun meninggalkan kebiasaan buruk. Dengan bangun lebih awal, aktivitas makan yang teratur, kebiasaan mengendalikan emosi dan nafsu, meningkatkan amal ibadah, mengindari larangan Allah, kemudian menjalankan semua itu dengan khusyu dan teratur secara berulang-ulang, maka kesuksesan dunia dan akhirat, insya Allah akan ada dalam genggaman.

(Majalah Hidayatullah Edisi 5/XXI, Ida S. Widayanti)

Jumat, 21 Agustus 2009

Tiga Fenomena Dalam Ramadhan

Tidak terasa saat ini sudah memasuki bulan Agustus 2009. Di bulan Agustus ini umat Islam kedatangan tamu agung yaitu tibanya bulan Ramadhan. Ada beberapa fenomena yang sering terjadi di bulan Ramadhan, yang mungkin hal ini menggambarkan pemahaman sebagian umat Islam terhadap ajarannya sendiri.

Pertama, mungkin kita sebagai kaum muslim baru mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika datangnya bulan Ramadhan. Selama sebelas bulan penuh kita menjauhi al-Qur’an, menjauhi masjid, menjauhi kebaikan. Sebaliknya, mendekati tempat-tempat kemungkaran, merapat pada kejahatan dan melalaikan seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tatkala Ramadhan tiba, kita seolah-olah tersentak kaget, siap menyambut puasa dengan mendatangi masjid beramai-ramai. Kita seolah-olah tenggelam dalam kekhusyukan dan kesahduan puasa di bulan Ramadhan, terlihat bersimpuh, merendahkan diri seolah-olah hendak menipu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berkaitan dengan kondisi di atas, timbul pertanyaan, bukankah kita menyadari bahwa Allah pencipta bulan Ramadhan juga pencipta bulan Sya’ban, Syawwal dan bulan-bulan yang lainnya? Bukankah kita telah mengetahui bahwa Allah Maha Melihat perbuatan manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik di bulan Ramadhan maupun bulan-bulan yang lainnya? Lalu mengapa kita baru terlihat sibuk beribadah pada bulan Ramadhan saja?

Kita menyadari, bahwa Allah senantiasa melihat, mengetahui dan mencatat semua amalan atau perbuatan kita, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu marilah kita masing-masing berusaha untuk berbuat baik tidak hanya di bulan Ramadhan saja. Mudah-mudahan kita senantiasa diberi kekuatan, kesehatan untuk melakukan amal kebaikan.

Kedua, pada malam-malam bulan Ramadhan kita sebagai kaum muslim meramaikannya dengan shalat tarawih berjama’ah, hingga masjid-masjid dan mushalla-mushalla penuh sesak bahkan meluber ke jalan-jalan. Pemandangan ini sungguh sangat menggembirakan, tapi pertanyaannya, kemana kita setelah Ramadhan berakhir?

Padahal shalat tarawih kedudukannya hanyalah sunnah. Sedangkan shalat lima waktu adalah fardhu, yang harus (wajib) dilaksanakan secara berjamaah di masjid (bagi kaum pria yang mampu dan tidak ada halangan). Pemahaman yang keliru sebagaimana yang dipraktekan selama ini nampaknya sudah saatnya kita masing-masing berusaha untuk memperbaikinya. Kita menyadari bahwa amalan yang wajib harus diutamakan daripada amalan sunnah. Menjalankan shalat fardhu berjamaah lebih penting dan lebih utama daripada shalat tarawih berjamaah.

Ketiga, kebiasaan buruk selama puasa adalah memperpanjang tidur di siang hari. Ada sebagian yang meneruskan tidurnya setelah shalat Subuh hingga siang hari dan ada pula yang tidur mulai dari Dzuhur hingga Ashar. Dengan tidur sepanjang itu, di mana kenikmatan menjalankan ibadah puasa? Di mana kita berlatih menahan lapar, merasakan pahit getirnya nasib para fuqara dan masakin?

Lebih ironis lagi jika malam-malam hari Ramadhan dihabiskan untuk begadang dengan melakukan perbuatan yang sia-sia, mendengarkan lagu-lagu lewat radio, menonton televisi hingga larut malam, sementara siang harinya justru dipakai untuk tidur. Lalu di mana makna iman di bulan Ramadhan?

Tidur siang hari memang tidak dilarang, jika dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Tetapi jika dilakukan dalam tempo yang sangat panjang, lalu di mana makna puasa? Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memanfaatkan bulan Ramadhan untuk berperang, lalu pastaskah jika kita justru menghabiskannya untuk tidur-tiduran?

(Disarikan dari Majalah Hidayatullah Edisi 05/XXI, Ustadz Abdurrahman Muhammad)