Jumat, 01 Mei 2009

Lomba Matematika antara Guru dan Kepsek

Mungkin cerita ini terjadi di negeri Entah Berantah, karena hal ini dihasilkan ketika penulis berada di alam bawah sadar (bukan pengaruh hipnotis). Cerita ini terjadi di suatu sekolah dasar, yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah (kalau tidak salah ia bernama Asuatama) dan terdapat beberapa orang guru sebagai pengajar di sekolah tersebut. Secara umum guru tersebut adalah sebagai guru kelas, artinya mereka harus meguasai dan mampu mengajarkan semua mata pelajaran yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku (mungkin Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Diantara mata pelajaran yang harus mereka kuasai adalah pelajaran matematika (termasuk kepala sekolah harus menguasai mata pelajaran tersebut, karena ia pada dasarnya adalah guru juga).

Pada suatu hari (tanpa direncanakan sebelumnya), Kepala Sekolah mengajak lomba kepada semua guru yang saat itu hadir. Dalam hal ini adalah lomba matematika antara guru dan kepala sekolah (mungkin menarik ya). Materi yang dilombakan sederhana saja (mungkin untuk penyegaran saja), yaitu meliputi materi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan bulat (mungkin merupakan materi dasar yang harus dikuasai oleh mereka). Soal yang disajikanpun tidak banyak, hanya empat soal saja sesuai dengan materi di atas.

Setelah soal disediakan maka berlangsunglah perlombaan tersebut. Hasil dari perlombaan tersebut ternyata semua guru dapat mengerjakan setiap soal dengan benar, baik materi penjumlahan, pengurangan, perkalian maupun pembagian. Sebaliknya ketika Kepala Sekolah mengerjakan keempat soal tersebut, ia hanya mampu mengerjakan dengan benar tiga soal saja. Sedangkan satu soal lagi tidak dijawabnya dengan benar, yaitu berkaitan dengan soal pembagian.

Ketika semua guru mengetahui bahwa Kepala Sekolah tidak mampu mengerjakan soal pembagaian, mereka dengan serempak mengatakan, "Memang urusan bagi membagi itu, Kepala Sekolah mempunyai caranya sendiri, tidak tahu berapa yang masuk ke pesaknya".

Mungkin itu sekedar guyonan yang pernah terjadi dalam mimpi di negeri entah berantah, ha ha.


Padepokan Tumaritis

Sebelum menceritakan peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Padepokan Tumaritis, perlu diinformasikan terlebih dahulu (barangkali lupa) tentang arti padepokan. Dalam cerita ini padepokan dianalogkan dengan perguruan (mungkin perguruan tinggi). Di Padepokan ini yang menjadi pucuk pimpimannya adalah Ki Semar Badranaya, sedangkan pembantunya terdiri dari Astrajingga, Dawala dan Gareng. Mereka adalah tokoh-tokoh yang diakui jujur, konsisten dan tanpa pamrih dalam melaksanakan setiap tugas yang diembannya.

Dalam suatu pekan, di Padepokan Tumaritis diadakan suatu kegiatan (mungkin saembara). Setiap peserta yang mengikuti kegiatan tersebut harus memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak panitia yang berwenang. Artinya apapun alasannya, bagi calon peserta yang belum atau tidak melengkapi persyaratan yang ditentukan maka tidak berhak untuk mengikuti saembara tersebut. Dihari pertama saembara berlangsung dengan tertib dan aman (tanpa ada gangguan yang berarti). Pada hari kedua (pagi hari) agak sedikit kurang tertib, ternyata pemicunya adalah ada beberapa calon perserta yang persayaratannya belum (tidak) dipenuhi, mereka memaksa agar dapat mengikuti saembara pada hari berikutnya. Namun pihak panitia tetap tidak membolehkan, karena mereka memang tidak memenuhi persyaratan (kewajiban) yang harus diselesaikan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.

Nampaknya mereka tidak puas atas keputusan panitia pelaksana, maka mereka melakukan protes lanjutan (padahal sudah jelas-jelas mereka tidak memenuhi kewajiban). Dalam protes lanjutan tersebut, ternyata mereka meminta dukungan (sebagai solidaritas) kepada bala (teman) mereka yang tidak terkait (bukan peserta) pada kegiatan saembara tersebut. Mungkin bala mereka ini berasal dari tempat lain (barangkali berasal dari Kurawa, mungkin juga sebagai propokator). Dalam protes ini mereka dan balanya langsung mendatangi Pimpinan Padepokan Tumaritis (Ki Semar Badranaya). Mereka memprotes karena adanya ketidakadilan dalam pelaksanaan saembara tersebut, mengapa mereka tidak bisa juga mengikuti kegiatan ini (seolah-olah mereka tidak memahami prosedur, padahal tahu). Karena dalam protes tersebut nampaknya ditumpangi propokator (pandai bersilat lidah, namun yang diucapkannya membela yang salah), tentu Ki Semar harus berbicara yang tegas dan proporsional. Pada siang harinya, sebelum mengambil keputusan ternyata Ki Semar memanggil salah seorang panitia pelaksana (walaupun mungkin hal ini keliru, karena panitia sebenarnya bukan bawahan atau pembantu langsung). Pembicaraan antara Ki Semar dan panitia saembara tersebut, dihasilkan suatu keputusan bahwa mereka (calon peserta) dapat mengikuti kegiatan saembara dengan alasan sebelumnya mereka sudah menandatangi perjanjian yang dapat dijadikan sandaran untuk mengikuti kegiatan tersebut. Sehingga diakhir pertemuan tersebut nampaknya sudah clear (jelas), bahwa Ki Semar membolehkan mereka mengikuti kegiatan tersebut yang jadwalnya ditentukan oleh panitia pelaksana.

Mungkin hasil protes kedua ini masih belum memuaskan juga, mereka memutuskan akan melakukan aksi (mungkin demo ya) pada keesokan harinya (mungkin ditumpangi propokator). Karena diketahui akan dilakukan aksi tersebut, pada sore harinya (menjelang maghrib), seorang abdi dalem menelepon langsung kepada ketua panitia saembara. Ia mengatakan bahwa besok pagi akan ada aksi, dimana mungkin pelakunya adalah mereka calon peserta saembara yang meresa belum puas terhadap pelanggaran peraturan (dari peraturan yang sudah sitetapkan) oleh Pimpinan Padepokan Tumaritis.

Ternyata betul saja esok harinya, mereka (calon peserta dan beberapa balanya yang beasal dari Kurawa) memberanikan diri melakukan aksi. Mereka datang dengan bergerombol (sopan) dan disambut dengan respon yang hangat oleh jajaran panitia saembara. Panitia mempersilahkan mereka untuk memasuki ruangan yang sebelumnya sudah sisepakati sebagai tempat untuk berdiskusi dengan mereka (pelaku aksi).

Diskusi diawali oleh perwakilan dari jajaran panitia dan peserta aksi. Selanjutnya diskusi terjadi dengan banyak arah. Sempat terjadi bersitegang dalam diskusi tersebut, namun pihak panitia dapat mengatasinya. Dengan waktu yang cukup panjang, akhirnya diskusi dapat diselesaikan dengan tidak menimbulkan kericuhan, tentu ini salah satunya karena kemampuan dari panitia dalam menangani diskusi tersebut. Diakhir waktu diskusi ternyata para peserta aksi sempat meminta permohonan maaf, karena sebetulnya mereka melaksanakan aksi yang salah alamat.
Mudah-mudahan mereka kembali kepada jalan yang benar (sesuai aturan yang berlaku).