Masyarakat (khususnya orang awam) sering cemas dan bingung saat hendak mengawali Ramadhan dan Syawal. Mereka kerap disuguhi perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Tentu saja ini bukan masalah sepele. Idul Fitri yang seharusnya membuat mereka senang, justru melahirkan kebingunan dan kecemasan. Setidaknya sejak tahun 1992 sampai sekarang, sudah tujuh kali Indonesia mengalami perbedaan Idul Fitri. Dimungkinkan, Ramadhan tahun ini akan mengalami nasib sama.
Andaikan ulama-ulama terhormat, yang mayoritas mewakili organisasi keagamaan itu berlapang dada mengakui otoritas pemerintah (dalam hal ini Depag) melalui mekanisme sidang isbat, maka setidaknya musibah itu dapat diminimalisir secara signifikan. Sebab masalah ini menyangkut muslim secara menyeluruh yang tidak boleh dibatasi dengan sekat-sekat madzhab, organisasi maupun aliran. Untuk itu, perlu keputusan dari pihak yang menjadi atasan dari semua kelompok tersebut, baik rela maupun tidak. Secara umum, eksistensi peran pemerintah, baik dengan simbol khalifah, imam, sultan, hakim, amir atau lainnya dalam penegakan syariat adalah sesuatu yang tidak dapat dibantah.
Khusus mengenai penetapan awal Ramadhan, apa yang terjadi pada masa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah bukti nyata peran pemerintah yang pada saat itu diperankan
Nabi sendiri.
Ibnu Abbas meriwayatkan: Ada seorang Badui datang kepada Nabi. Ia berkata, "Aku telah melihat hilal yaitu Ramadhan". Maka Nabi bertanya, "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Si Baduy itu menjawab, "Ya". Nabi bertanya lagi, "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?" Ia menjawab, "Ya". Kemudian Nabi berkata, "Wahai Bilal, umumkan kepada semua orang hendaklah mereka besok berpuasa". (Riwayat Abu Dawud, Turmudzi, Nasa'i dan Ibnu Majah).
Tampak dalam hadist ini bahwa si Badui itu hanya berperan sebagai informan, sedangkan Nabi sebagai penetap atas kebenaran informasi tersebut melalui uji validasi. Beliau juga menunjukkan fungsi instruktifnya kepada seluruh masyarakat saat ini.
Argumen ini juga didukung oleh riwayat Ibnu Umar yang menceritakan, "Orang-orang melihat hilal, maka aku memberitahukan kepada Nabi, bahwa aku melihatnya, maka Nabi berpuasa dan menyuruh semua orang untuk berpuasa" (Riwayat Abu Dawud).
Berdasar hadits kedua ini nyata sekali bahwa sebanyak apapun informasi mengenai ru'yah hilal, baru legitimate secara syar'i bila disahkan oleh penguasa yang berwenang. Dalam kondisi banyak orang menyatakan melihat, namun pemerintah tidak memandangnya sebagai informasi yang valid, maka esok harinya adalah hari ragu (yaum al-syak) yang haram untuk berpuasa.
Realitasnya di Indonesia, secara de fakto dan de yure, mayoritas organisasi Islam berlindung di bawah payung hukum negara dan di bawah asuhan Departeman Agama. Namun ironisnya, selalu tampak enggan ikut keputusan pemerintah dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawal walaupun mereka sendiri ikut bersidang.
Disarikan dari Majalah Hidyatullah Edisi 5/XXI, Abdul Choliq, Lc
Selasa, 15 September 2009
Langganan:
Postingan (Atom)